Dibalik Sarang Lebah Eps 14 – Cantik Ala Monalisa

Cantik itu relatif, bergantung pada selera masing-masing orang di zamannya. Di era milenium seperti sekarang, kita boleh berbangga dengan standar kecantikan yang katanya "wanita cantik, seksi, dan putih". Tapi tunggu dulu, apakah standar ini mutlak? Tentu tidak! Kalau kita mundur ke abad ke-16, misalnya, dalam lukisan Monalisa karya Leonardo da Vinci, masyarakat saat itu lebih suka wanita gemuk dari pada yang kurus atau seksi kayak model iklan skincare jaman now. Jadi, kalau ada yang bilang “gemuk itu nggak cantik”, coba kasih tahu mereka bahwa zaman dulu, gemuk itu malah simbol kemakmuran dan kebahagiaan. Siapa cepat, siapa dapat—kalau nggak cepat, ya jatah makanannya habis duluan sama tetangga!

Nah, ceritanya balik lagi ke tahun-tahun sekolah kami di SMAN Kalisat. Di sana ada seorang wanita cantik bernama Leli. Postur tubuhnya sehat, tapi teman-teman memberinya julukan spesial: Leli Ndut . Sekarang kalau dipikir-pikir, julukan ini pasti bakal masuk kategori body shaming tingkat dewa, tapi di tahun 2002-2005, istilah bullying atau body shaming belum ngetren. Atau mungkin Leli sudah pasrah dengan olok-olokan tersebut, atau mungkin dia diam-diam punya rencana balas dendam dengan mempermalukan para pelaku kelak di acara reuni.

Fakta menarik tentang Leli adalah dia bukan gadis desa biasa. Dia anak kota tulen yang entah kenapa nyasar ke Kalisat. Rumahnya di perumahan elit di Jember, lulusan salah satu SMP favorit di sana. Mungkin dia sedang menjalani misi rahasia dari CIA untuk menyamar jadi warga lokal, tapi teori ini masih butuh pembuktian lebih lanjut. Walau begitu, Leli termasuk humble alias ramah banget, sehingga teman-teman di sekitarnya sangat menyayanginya. Meski badannya agak besar ala Monalisa versi modern, dia berhasil membuat banyak pria di sekolah kami bertekuk lutut (bukan karena berat badannya, ya, tapi karena pesonanya).

Drama percintaan Leli di sekolah kami bisa dibilang mirip sinetron Cinta Fitri , tapi tanpa adegan nangis bombay dan pingsan di depan gerbang sekolah. Ada Fendi, si cowok pintar yang tiba-tiba nangis bombay waktu Leli ninggalin dia buat cowok lain. Ada juga Awan dan Febri, dua punggawa basket sekolah kami. Awan si Point Guard tampan dan Febri si Power Forward yang kulitnya agak kontras dibandingkan Awan. Perseteruan mereka berdua akhirnya berakhir setelah Leli memilih Awan sebagai pemenangnya. Alasan utamanya? Selain lebih tampan, kulit Awan nggak terlalu kontras, jadi cocok buat difoto bareng di madding sekolah—eh, maksudnya di album kenangan sekolah.

Pengorbanan Awan demi cintanya pada Leli juga nggak main-main. Suatu hari, saat perjalanan mendaki Kawah Ijen, Awan nekat membawa boneka Mickey Mouse pemberian Leli sampai ke puncak hanya untuk membuktikan betapa besarnya cintanya. Kami semua yang ikut rombongan cuma bisa geleng-geleng kepala, mikir, "Waduh, cinta emang bikin orang jadi gila." Tapi, jujur saja, momen itu manis banget. Kalau dipikir-pikir, mungkin itulah awal mula tren public display of affection di kalangan pelajar.

Jadi, intinya, cantik itu relatif, tapi cinta itu universal. Dan kalau kamu mau ditolak cewek, bawa boneka Mickey Mouse ke gunung—siapa tahu itu trik ampuh buat menaklukkan hatinya.

Dan jangan tanya endingnya apakah Leli menikah dengan Awan.. seperti biasa saya jawab TIDAK.