Kupanggil dia Ners. Eps 4 - Ners Rian: Dosen, Pembimbing, dan... ?

Sebagai ketua UKM NSC, aku sering banget harus berkomunikasi dengan Ners Rian. Jujur, aku agak berat tapi juga senang waktu tahu beliau jadi pembina kami—kupikir bakal dapat banyak masukan visioner. Namun, ekspektasi langsung remuk di pertemuan pertama.

Ners Rian kami biasa memanggilnya adalah panggilan dari dosen kami yang Bernama Endrian Fandi Kurniyawan, MNS. Beliau adalah lulusan Master of Nursing dari luar negeri, tepatnya Thailand, negara tetangga yang bikin kita gemas tiap AFF Cup berlangsung. Kalau timnas kita kalah, biasanya disalahin pelatih, pemain, atau bahkan rumput stadion, tapi Ners Rian? Dia santai aja, mungkin karena sudah kebal drama bola. Hari itu aku menghadap beliau di ruangannya.


“Permisi, Ners.”

“Ya, duduk saja,” jawabnya tanpa menoleh, tetap sibuk mengetik.

Aku jelaskan panjang lebar tentang proker, undangan kompetisi, hingga rencana jangka panjang UKM. Setelah selesai, aku berharap ada diskusi seru atau setidaknya saran konstruktif.

“Ya, atur aja. Kalau perlu tanda tangan, kasih sini.”

Hah?! Selesai? Kok lebih simpel dari daftar belanja bulanan? Saat kutanya lagi, harap-harap cemas, jawabannya tetap santai.

“Gak ada, udah bagus.”

Merasa ada yang “unik” dengan gaya pembimbing ini, aku mulai memperhatikan perilakunya. Selama mengajar, beliau disiplin soal waktu, tapi metode mengajarnya bikin mahasiswa bingung—kadang super cepat, kadang lambat sambil bercerita tentang alien atau teori konspirasi. Kalau suasana kelas mulai ramai, beliau cukup bilang, “Apa kita akhiri aja kelasnya?” Seketika, hening.

Penampilannya juga unik. Kadang lupa pakai sabuk, kemeja sering keluar seperti model dadakan, dan pernah tidak melepas jaket karena hanya memakai kaos oblong di dalam. Tapi yang paling bikin mahasiswa gagal paham adalah “ritual” sebelum kuliah: beliau selalu memulai dengan doa dilanjutkan menyanyikan lagu Indonesia Raya. Pertama kali, kami semua bengong.

“Siapa yang biasa jadi dirigen waktu upacara?” tanyanya.

Saat salah satu teman maju, beliau memberi aba-aba, “Hiduplah Indonesia Raya, tiga... empat!”

Kami bernyanyi dengan canggung sambil menahan tawa. Lama-lama, tradisi ini jadi hal yang kami tunggu-tunggu karena semangat Ners Rian begitu membara, seperti timnas baru menang 5-0 lawan Thailand.

Ners Rian ternyata bukan cuma dosen—dia juga YouTuber! Ketika teman-teman sekelas membagikan video beliau menyanyi di tengah sawah, aku cuma bisa menghela napas panjang. Lagu dengan tema patah hati, lengkap dengan efek cinematic, serius sekali digarap. Tapi kalau soal video vlog-nya? Jangan tanya, isinya campur aduk antara alay, absurd, dan “entahlah.”

Tidak cukup sampai di situ, saat acara UKM musik, beliau tampil membawakan lagu miliknya sendiri. Wajahnya begitu ceria, melompat ke sana kemari seperti anak kecil yang baru dibelikan es krim. Tiba-tiba, teman-teman sekelas mulai memanggilku, “Eh, itu bapakmu ya?”

Aku cuma bisa menahan malu dan tersenyum getir.

“Bapakmu” ini mungkin aneh, tapi jujur, hidupku di kampus jadi lebih berwarna sejak ada beliau. Siapa lagi yang bisa bikin kelas terasa seperti perpaduan seminar, konser, talk show motivasi dan tausiyah.