Dian, si petualang cinta sejati, adalah legenda hidup yang punya akses "VIP" keluar sekolah. Berkat koneksinya yang luas hingga ke Jember—gara-gara ikut les—dia sering berinteraksi dengan anak kuliahan. Tidak tanggung-tanggung, wajahnya yang katanya "tampan bagai Ridho Rhoma" membuatnya merasa bisa menaklukkan siapa saja.
Saat masih kelas 1, Dian sudah membuat gebrakan: dia berhasil berpacaran dengan gadis cantik dari kelas 2. Tapi, kisah cintanya ini bukan cuma soal beda angkatan—lebih dramatis lagi, pacarnya saat itu non-Muslim! Apa yang ada di pikiran Dian? Mungkin dia terinspirasi sinetron waktu itu, atau mungkin dia cuma suka tantangan. Yang jelas, keluarganya langsung overreaction.
Selain cinta lintas generasi dan lintas agama, Dian juga terkenal sebagai anak paling tajir dan parlente di antara kami. Meski orang tuanya pegawai negeri tapi warisan sawahnya cukup luas. Ulang tahunnya selalu dirayakan besar-besaran, lengkap dengan tema unik. Saat kelas 1, temanya adalah Meteor Garden. Semua tamu diinstruksikan berdandan ala Tau Ming Se, Hua Ze Lei, dan kawan-kawan, sementara cewek-cewek harus seperti San Chai (versi KW tentunya). Dan tahu tidak? Pacarnya benar-benar datang berdandan ala San Chai! Walau lebih mirip San Chilok, Dian tetap bangga.
Rumah Dian selalu jadi markas para lebah di malam minggu. Meski tajir melintir, dia cukup humble sebagai teman. Tapi urusan cinta? Hmm… sebaliknya.
Saat kelas 2, dia memutuskan berpacaran dengan teman sekelasnya di 2.4, seorang gadis bernama Ribud. Jangan tertipu oleh namanya yang gahar, Ribud sebenarnya cantik dan pendiam. Awalnya, hubungan mereka terlihat manis, seperti drama Korea. Tapi naas, Dian memergoki Ribud masih menyimpan foto mantannya di album! Dian langsung merasa seperti tokoh utama drama patah hati: “Kenapa harus aku?”
Namun, petualangan cinta Dian tidak berhenti di situ. Naik kelas 3, dia menjalin cinta dengan Wahyu, anak Pegasus IPA 1. Wahyu adalah gadis manis berkulit hitam eksotis, harapan Dian untuk menjadi "pelabuhan terakhir." Sayangnya, Wahyu terlalu posesif. Dian sering kualahan dengan tingkat keposesifan Wahyu yang, katanya, lebih ketat daripada ujian nasional.
Puncaknya terjadi saat studi tour ke Pasir Putih Situbondo. Wahyu marah besar karena Dian tidak membalas chat SMS-nya selama dua jam. (Maklum, sinyal di HP waktu itu seperti harapan Dian: hilang timbul.) Tiba-tiba, teman Wahyu datang berlari:
“Dian, Dian, Wahyu di dermaga!”
“Kenapa?” tanya Dian sambil malas-malasan.
“Dia mau bunuh diri!”
Dian langsung panik. Tapi alih-alih berlari, dia malah tersungkur. “Ya Allah, kenapa kisah cintaku begini amat?” ucapnya sambil memegang sate di tangannya. (Prioritas, bro!)
Dian akhirnya bergegas ke dermaga. Wahyu ternyata berdiri termenung sambil memandang laut, menangis bak adegan FTV. “Jangan Begitu aku khawatir!” katanya dramatis. Dian hanya bisa menghela napas panjang, lalu berkata, “Wahyu, kalau mau drama, setidaknya pilih lokasi yang lebih estetik. Ini dermaga penuh lumut dan panas!”