Dibalik Sarang Lebah Eps. 8 – Cinta di Balik Gawang

Cinta itu ibarat bola plastik yang dimainkan anak-anak: terlihat ringan, tapi kalau kena angin bisa melayang jauh entah ke mana. Di episode ini, kita akan menyelami kisah cinta Ferdi dan Dea, yang kalau dijadikan sinetron, mungkin akan menguras air mata penontonnya karena gemes.
Ferdi adalah seorang anak pencinta sepak bola. Sejak kecil, hobinya tak jauh-jauh dari menendang bola—baik itu bola sungguhan maupun bola plastik yang sebenarnya lebih mirip balon berbentuk bulat. Di sekolah, Ferdi adalah bek andalan SMA Kalisat. Namun, di mata Dea, Ferdi adalah pangeran lapangan yang diam-diam ia puja. Dea sendiri adalah gadis cantik yang sering hadir di sisi lapangan, selalu siap dengan sorakan semangat. Setiap kali Ferdi bermain, ia seperti juru sorak pribadi. Kalau ada pertandingan antar kelas, Dea jadi lebih heboh dari komentator bola. "Ayo, Ferdi! Tunjukkan bahwa bek juga bisa beraksi layaknya striker!" Begitulah teriakan khasnya.

Meski begitu, Dea punya satu kebiasaan unik: ia hanya mendukung Ferdi dari jauh. Jauh banget, sampai Ferdi sering merasa seperti dipelototi CCTV. Ferdi sebenarnya tahu bahwa Dea menyukainya. Tapi, ya, Ferdi adalah tipe cowok yang berpikir terlalu keras. Katanya, “Kalau aku menyatakan cinta dan diterima, bagaimana nasib impianku jadi pemain bola terkenal? Tapi kalau aku menyatakan cinta dan ditolak, bagaimana nasib hubungan kami?” Jadilah Ferdi memilih opsi ketiga: diam sambil berharap perasaan itu tetap menyala dalam diri karena cinta tak harus memiliki, Paham sampai disini.

Waktu terus berlalu, dan hubungan mereka tetap begitu-begitu saja. Dea tetap setia menonton Ferdi dari pinggir lapangan, sementara Ferdi tetap sibuk mengejar bola sambil menghindari pertanyaan cinta. Mereka seperti dua pemain yang bermain di tim yang sama, tapi lupa kalau mereka bisa mengoper bola cinta ke satu sama lain.

Hingga suatu hari, pertandingan besar pun tiba. Sekolah kami masuk final Tingkat Kabupaten, dan Ferdi tampil sebagai kapten. Dea, tentu saja, ada di barisan depan penonton, lengkap bekal berupa makanan dan minuman yang khusus dipersiapkan untuknya. Bekal itu jadi bahan tertawaan teman-teman Ferdi, tapi Dea tak peduli. Ia tetap tersenyum, berharap Ferdi akhirnya menyadari perasaannya.

Namun, apa yang dilakukan Ferdi? Dia malah fokus ke bola, seolah bekal itu adalah papan skor yang tak ada hubungannya dengan permainan. Saat pertandingan usai dan tim mereka menang, Ferdi hanya mengangkat piala tanpa menoleh ke arah Dea. Setelah pertandingan, seorang teman Dea bertanya, “Kenapa kamu nggak bilang langsung ke Ferdi? Siapa tahu dia sebenarnya nunggu kamu duluan.” Dea hanya tersenyum kecil. “Mungkin aku memang cuma penonton dalam hidupnya.”


Tapi, meski cintanya tak berbalas, Dea belajar sesuatu: mencintai seseorang tak melulu soal memiliki. Kadang, cukup dengan melihat orang yang kita sayangi bahagia, itu sudah jadi kebahagiaan tersendiri. Sementara itu, Ferdi? Entah apa yang ada di pikirannya. Mungkin dia sedang memikirkan strategi baru, atau mungkin juga sedang merenungi kenapa bola lebih mudah ditendang daripada hati Dea yang penuh cinta. Yang jelas, hidup terus berjalan. Dan Ferdi tetap tidak sadar bahwa bola plastik di depan kelas dulu lebih dari sekadar permainan, ending dari cerita ini adalah mereka berdua tidak hidup berdampingan. Pesan moralnya kadang, hidup seperti pertandingan sepak bola. Kalau terus menunggu, kita hanya akan jadi pemain cadangan dalam cerita kita sendiri. Jadi, beranilah maju dan nyatakan perasaan, sebelum peluit akhir berbunyi!

Baca Juga Episode Sebelumnya: