Ketika naik kelas tiga, para senior mulai radar-lock ke adik-adik kelas satu. Ya, hampir semua sekolah begitu—semacam tradisi tak tertulis. Tapi di angkatan kami, drama ini naik level karena melibatkan dua sahabat lama: Kurnia dan Sugeng. Mereka jadi musuh bebuyutan gara-gara seorang gadis bernama Wita, yang sialnya, lebih sulit dimengerti daripada soal ujian matematika. Masalah Dimulai dengan "Cinta", Wita adalah gadis cantik dengan aura "main character." Sugeng sudah menyatakan cinta beberapa kali—bahkan level nekatnya hampir bikin Shakespeare minta cuti—tapi Wita terus menolaknya. Alasannya? Mungkin karena dia suka koleksi "follower," bukan "pacar."
Kurnia, di sisi lain, mencoba pendekatan lebih halus: jadi ojek pribadi Wita. Antar-jemput setiap hari, lengkap dengan senyum sabar ala sales kartu kredit. Sayangnya, Wita hanya memanfaatkannya. Sugeng, yang seperti detektif swasta, cepat tahu soal ini. Bukannya kasihan, dia malah ancam Kurnia dengan gaya preman pasar: "Hati-hati kalau ada apa-apa sama Wita!"
Suatu hari, gara-gara rumor Kurnia "diam-diam" pacaran dengan Wita, Sugeng hampir menghajarnya. Untungnya, Kurnia masih punya nyawa cadangan karena dilerai oleh teman. Tapi, jujur, aku mulai capek jadi penonton utama sinetron ini. Dalam salah satu sesi curhat mingguan (tanpa fee), duduk di atas bangku kelas 3. Kurnia dan aku yang kala itu memakai seragam putih abu abu akhirnya buka suara.
“Aku sudah nyatain cinta ke Wita, tapi dia nolak,” katanya, menunduk seperti siswa yang lupa bawa PR.
“Kenapa?” tanyaku penasaran.
“Katanya dia sudah punya pacar.”
“Oke, siapa pacarnya? Sugeng?”
Kurnia menggeleng.
“Anak sekolah luar?”
“Bukan.”
“Kelas 1 atau 2?” pikirku, kalau cuma junior, ya tinggal para Lebah backup.
“Bukan juga.”
“Jangan bilang... kelas 3?”
Kurnia mengangguk pelan.
Aku kaget. Kalau pacarnya anak kelas 3, kenapa Sugeng dan Kurnia nggak kompak mengeroyok saja? Aku tinggal bilang Lebah jika memang diperlukan. Tapi jawaban Kurnia selanjutnya membuatku lebih kaget dari pada melihat nilai ujian seratus tanpa belajar.
“Pacarnya siapa?”
Dengan muka seperti ayam kehilangan kandang, Kurnia menjawab:
“Maliq.”
Maliq. Satu nama, seribu cerita. Dia adalah anggota lebah—alias geng kami. Anak yang power-nya di angkatan setara presiden OSIS dengan jabatan seumur hidup. Wita ternyata memilih Maliq, dan Sugeng serta Kurnia jelas tidak punya nyali melawannya.
“Kenapa nggak bilang dari awal?” tanyaku, mulai kehilangan kesabaran.
Kurnia hanya menggeleng, mungkin trauma karena drama ini hampir menghancurkan persahabatannya dengan Sugeng.
Akhirnya, aku tersenyum dan memutuskan untuk tidak ikut campur lebih jauh. Kalau Maliq sudah terlibat, lebih baik mundur. Drama politik kekuasaan ini benar-benar tidak bisa diprediksi. Ya, begitulah hidup di Sarang Lebah—politik, cinta, dan ojek gratis jadi satu. Moral cerita? Jangan main politik untuk urusan cinta. Kalau mau main politik, masuk OSIS saja. Setidaknya, nggak ada drama antarangkatan!