Kupanggil dia Ners – Eps 3. Juara, Tapi Tetap Kena Omel!

Event nasional Basic Nursing Science Competition (BNSC) di Fakultas Keperawatan kami ini adalah kali pertama aku dan teman-temanku ikut kompetisi sebesar ini, ada cerdas cermat, ada LKTI, seminar serta conference khusus mahasiswa. Acara ini dikuti oleh jurusan keperawatan seluruh Indonesia. Awalnya merasa pesimis namun aku tetap meyakinkan diri untuk mengikutinya walau dengan usaha yang tak kenal Lelah menghubungi para senior akhirnya tim ini terbentuk. Kolaborasi ini cukup unik, karena aku mahasiswa angkatan 2016 harus berpartner dengan kakak tingkat angkatan 2014, yang sudah cukup senior dan banyak pengalaman. Kakak tingkatku ini bahkan pernah jadi finalis di ajang nasional di Makassar. Ners Rian bilang “Regenerasi” Dengan bekal cerita heroiknya itu, karena itu aku optimis bakal membawa pulang piala. Target kami? Juara satu, tentunya! Angkatan 2014 adalah salah satu generasi emas kami karena mereka bisa lolos Pimnas dan memperoleh mendali. Selebihnya angkatan dibawahnya masih puasa gelar.


Kami dibimbing oleh Ners Rian sesuai dengan kemauanku setelah mendengar cerita dari Mas Aris. Ternyata benar kata mas aris beliau seorang pembimbing yang lebih mirip motivator sekaligus "stand-up comedian." Beliau punya dua mode: serius yang bikin merinding atau lucu yang bikin semua orang lupa kalau sedang stress. Dari awal, beliau selalu bilang, “Kita ini tuan rumah! Kalau nggak menang, malu dong!” Kalimat itu sukses jadi soundtrack harian kami selama persiapan.

Proses pembuatan manuskrip penuh drama. Ners Rian sering whatsapp tiba-tiba memanggil kami keruangannya untuk membaca draf kami, lalu berkata dengan nada super tenang, “Ini bagus... buat ditempel di kulkas.” Bayangkan perasaan kami! Tapi beliau nggak pernah tinggal diam, selalu ada masukan yang bikin kami mengelus dada sekaligus termotivasi. “Coba presentasi” di presentasi pertama dia bilang “5 besar saja gak masuk kalau seperti ini”. Dia optimis akan masuk 10 besar.

Dia menyarankan kami untuk membuat time schedule waktu sehingga presentasi yang biasanya diberikan oleh panitia selama 10 menit itu bisa tepat atau selesai tepat waktu. Kami tidak boleh membaca slide karena slide hanyalah point-point yang perlu dikembangkan dari pemikiran kami jadi kami harus paham sekali apa yang telah kita buat.

“Pertahankan kontak dengan audien agar kalian tampak menguasai materi yang disampaikan dan bacalah sesekali power point itu.”

Tantangan untuk paham itu cara satu-satunya adalah membaca manuscript yang kita buat berulang-ulang walau Lelah tapi tetap kami jalani untuk hasil sempurna. Hanya aku yang tak lancer presentasi sendangkan para senior dengan lincah dan tenang menyampaikan hasil penelitian ini dihadapan beliau.

Benar ketika akhirnya kami diumumkan masuk 10 besar, suasana jadi horor. Di satu sisi senang, tapi di sisi lain tekanan meningkat. Aku sempat mimpi buruk tentang presentasi—entah kenapa di mimpi itu aku malah tampil di acara kawinan. Untungnya, Ners Rian tetap jadi penghibur. Setiap kali kami panik, dia akan bilang, “Kalau gugup, bayangin aja kalian lagi jualan bakso di depan juri atau pikirkan hal remeh yang membuat kalian tenang. Biar santai.”

Tapi satu minggu sebelum kami tampil ada pergantian pembimbing Dimana Ners Rian di tunjuk sebagai Juri dalam lomba tersebut dan tidak diperkenankan menjadi juri sekaligus pembimbing jadi mau tidak mau kami harus mecari pembimbing lainnya.

Hari presentasi tiba, dan kami tampil penuh percaya diri (atau setidaknya berpura-pura percaya diri) karena kita harus tampil dihadapan hampir 1000 peserta seminar dan lomba yang hadir diaula. Kakak tingkatku tampil seperti veteran perang dan kami presentasi bergiliran sesuai time schedule yang telah kami buat, sementara aku hanya bisa berharap nggak membuat kesalahan fatal. Presentasi berjalan lancar—atau setidaknya begitulah kami pikir. Ketika pengumuman pemenang tiba, kami deg-degan maksimal. Dan… kami berhasil meraih juara tiga walau jurinya mantan pembimbing kami sendiri. Rasanya campur aduk: bangga tapi juga sedikit kecewa karena target juara satu melayang. Tapi Ners Rian dengan santainya berkata, “Juara tiga itu lumayan, lho. Karena lawan kalian itu lebih siap dan lebih bagus dari kalian.”

Setelah itu, Ners Rian langsung meluncurkan evaluasi seperti presenter acara investigasi. Setiap kesalahan kecil kami diuraikan dengan rinci. Tapi anehnya, kami tetap merasa semangat. Dari momen itu, Ners Rian memutuskan untuk membentuk tim LKTI baru dari angkatan 2016, sementara kakak tingkat 2014 mulai sibuk dengan skripsi. Pengalaman ini tidak hanya mengajarkan kami cara bertarung di kompetisi nasional, tapi juga bagaimana menghadapi kegagalan dengan kepala tegak—dan tentunya dengan tambahan prestasi sebagai bonus di perjalanan hidup kami.