Kupanggil dia Ners. Eps 2 - Ketika Deadline dan Keajaiban Bertemu di Koridor Dosen

Suatu sore yang biasa di ruang UKM NSC, Mas Aris datang menghampiriku. Ada urusan penting, katanya—proses perizinan ikut lomba esai di salah satu kampus negeri. Sebagai ketua UKM, ya mau tidak mau aku bantu mengurusi administrasi ke BEM dan fakultas. Bukan karena dia tidak mengerti cara urus sendiri, tapi sistem baru yang membuat mahasiswa harus koordinasi dulu dengan UKM bikin semuanya mejadi sedikit ribet. Mas Aris—lengkapnya Aris Munandar Angkatan 2015—belakangan lagi naik daun. Namanya jadi sering disebut gara-gara dua kali menang lomba esai nasional dan setelah aku kepo, ternyata dosen pembimbingnya adalah the one and only Ners Rian.


Karena dia lagi nongkrong di ruang UKM, aku penasaran dong. Aku tanya, “Kenapa sih Ners Rian, Mas?”

“Gini, Ces,” katanya sambil garuk-garuk kepala, “Aku tuh orangnya suka mepet deadline. Jadi waktu itu aku bingung, dosen mana yang bisa aku ajak jadi pembimbing. Aku coba kontak dua dosen, satu nggak bisa karena ada kegiatan, satunya lagi nolak setelah lihat proposalku. Katanya, beliau nggak ahli di bidang itu.”

Nah, di sinilah drama dimulai. “Hari itu deadline pengiriman proposal, Ces. Aku udah frustrasi. Terus pas jalan di koridor ruang dosen, aku lihat ada Ners Rian. Hanya dia yang lagi ada di ruangan. Akhirnya aku coba saja hubungi, ya udah pasrah. Pikirku, aku cuma butuh tanda tangan, kok.”

“Dan gimana, Mas? Apa kata Ners Rian?” tanyaku, makin penasaran.

“Ya gitu. Dia cuma bilang, ‘Oh oke, sini saya ttd.’ Aku lega dong, tapi penasaran. Jadi aku tanya, ‘Ngapunten, Ners, ada saran atau masukan, nggak?’”

Eh, nggak disangka-sangka, dia malah jawab, “Gak usah”

“Aku malah bingung”

Melihat ekspresiku

“Coba kamu presentasikan dulu di depan saya.”

“Gila, Ces, aku disuruh presentasi!” katanya sambil geleng-geleng.

Akhirnya, Mas Aris mencoba presentasi seadanya. Tapi ternyata ini bukan cuma soal asal tanda tangan. Ners Rian mulai ngelempar pertanyaan maut:

“Dasar kamu apa? Teori siapa yang kamu pakai? Dan aplikasi nyatanya gimana?”

Mas Aris kelabakan, tapi di tengah itu semua, ada kalimat yang bikin dia tercerahkan:

“Jangan bicara kalau nggak pakai data atau dasar. Kalau kamu bisa jawab itu, saya yakin kamu bakal masuk tiga besar.”

“Serius, Ners?” Mas Aris balik tanya, setengah nggak percaya begitu juga aku.

“Ya serius, Ces.”

Dan gila, ternyata benar. Di lomba itu, Mas Aris beneran dapat juara 3! Sejak saat itu, dia jadi nggak pernah ragu pilih Ners Rian sebagai pembimbing. “Awalnya ku pikir dia agak aneh.”

Aku hanya bisa tersenyum karena hampir semua orang yang kutemui pasti bilang dia aneh.

Sore itu, Mas Aris cerita panjang soal pengalamannya riset bareng Ners Rian. Dari latar belakang penelitian sampai solusi masalah, semuanya diajari dengan detail. Dan aku pun mulai mikir, kayaknya seru juga kalau bisa kolaborasi sama Ners Rian untuk event nasional yang terdekat adalah Basic Nursing Science Competition atau BNSC. Ekspektasi negatifku soal beliau akhirnya hilang perlahan. Ternyata, di balik gaya gak seriusnya, Ners Rian punya keahlian yang nggak pernah aku bayangkan sebelumnya. Mungkin ini juga alasan kenapa Ners Wida pilih dia jadi pembina UKM.