Langit sore itu memancarkan kilauan cahaya, seolah memahat sebuah lukisan indah di atas cakrawala nan biru. Tapi, dalam hati ini, segalanya terasa kelabu. Keperawatan menjadi pelabuhan terakhir dalam perburuan panjangku mencari perguruan tinggi. Bukan pilihan pertama, bahkan bukan pilihan kedua. Namun, takdir seperti telah merangkai dan memiliki rencana lain untukku.
Aku masih ingat perdebatan sengit di ruang keluarga beberapa bulan lalu. Ibu ingin aku menjadi perawat atau guru—pekerjaan yang katanya mulia. Tapi aku yakin referesinya hanya karena melihat mereka berseragam dikampung. Lain dengan bapak yang punya pandangan berbeda. Baginya, dunia non-kesehatan lebih menjanjikan. Di tengah tarik ulur itu, aku hanya bisa terdiam, membayangkan semua opsi tanpa tahu apa yang benar-benar kuinginkan. Namun, hasil SNMPTN-lah yang akhirnya menjadi penentu. S1 Keperawatan, beasiswa Bidikmisi, dan kehidupan baru di Jember—itulah jawabannya. Sebagai anak sulung dari tiga bersaudara, beban ini terasa berat. Bukan hanya soal membuktikan diri, tapi juga karena aku sadar keluarga kami tak punya banyak kemampuan ini. Bapak hanyalah petani, sementara ibu mengelola toko kelontong alias pracangan kecil di rumah. Setiap langkahku seolah menjadi taruhan untuk masa depan keluarga kecilku.
Pendaftaran kuliah, pengurusan berkas, hingga persiapan keberangkatan ke Jember kulakukan sendiri. Motor tua milik bersama setia menemani, seperti sahabat yang tak pernah mengeluh. Perjalanan dari Probolinggo ke Jember, meski melelahkan, memberi ruang untukku merenung. Jalanan panjang, sawah yang menghampar, dan angin yang membawa aroma laut—semuanya menjadi saksi perjalanan saat itu. Namaku Cassia Neila Rayanna, tapi teman-teman memanggilku Cesa. Nama ini, entah bagaimana, menjadi lekat. Namun, ada saja teman yang iseng menambahkan huruf N, memanggilku "Cesan"—dan menghubungkannya dengan charger HP. Setiap kali itu terjadi, aku tak pernah tinggal diam. "Cesan? Charger HP? Dasar nggak kreatif!" bentakku, meski dalam hati ingin tertawa juga. Sejak kecil, aku sudah terbiasa melawan bully. Itu membuatku tumbuh menjadi sosok yang keras kepala dan tak mudah menyerah. Tapi ada satu hal yang belum bisa kutaklukkan: rasa gugup saat harus berbicara di depan banyak orang. Bayangkan, aku bisa melawan teman-teman iseng di sekolah, tapi begitu berdiri di depan kelas, lututku rasanya gemetar dan perut berputar tak karuan.
Lalu, kenapa keperawatan? Kadang aku bertanya hal yang sama pada diriku sendiri. Apakah ini benar-benar pilihanku, atau hanya karena dorongan ibu, bapak, dan guru BK di sekolah? Guru BK-lah yang memberiku pandangan tentang prospek keperawatan, apalagi dengan jalur undangan yang mempermudahku meraih semua ini. Hari-hariku di Jember kini dipenuhi rutinitas sebagai mahasiswa. Selain sibuk kuliah aku tak lupa dengan kegiatan non akademik, aku aktif di Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Nursing Science Club (NSC). UKM ini seperti versi kuliah dari Karya Ilmiah Remaja (KIR) yang kuikuti saat SMA. Aku suka menulis, terutama karya ilmiah, jadi bergabung di NSC rasanya seperti pulang ke rumah kedua.
Awalnya, aku hanyalah anggota biasa yang mengikuti semua kegiatan senior. Tapi lambat laun, kebiasaanku bersosialisasi membuatku mencuri perhatian. Entah bagaimana, aku selalu berakhir menjadi pusat perhatian. Pengalaman menjadi pengurus OSIS di SMA ternyata membantuku membangun jejaring di kampus. Teman-teman bilang aku "ramah tapi bossy alias suka mengatur dan memerintah," dan aku hanya tertawa menanggapinya. Semester dua menjadi titik balik. Aku terpilih menjadi Ketua NSC di bawah bimbingan Ners Wida. Bagi banyak orang, itu mungkin hal besar. Tapi bagiku, ini hanya langkah kecil dalam perjalanan panjang menjadi seorang perawat. Di sela-sela waktu, aku sering memikirkan pilihan hidupku. Keperawatan bukan mimpi masa kecil, tapi kini, aku melihatnya sebagai jalan takdir yang indah dan menyenangkan bagiku. Aku yakin, di akhir cerita ini, aku akan bersyukur pernah memilih untuk percaya pada takdir.