Rivalitas itu ibarat pertandingan final yang nggak ada peluit panjangnya. Selalu sengit, nggak pernah selesai. Kalau dunia punya Messi dan Ronaldo, atau Nadal dan Federer, di sekolah kami punya Maliq dan Marvel. Bukan soal akademik, bukan juga soal olahraga (walau mereka jago di situ), tapi soal urusan paling vital: cinta. Mereka ini dua dari Big Three pemburu cinta di sekolah. Bayangin aja, Maliq adalah definisi sempurna dari boyfriend material. Wajah Eropa, rambut ikal ala Sergio Conceicao gelandang sayap Lazio akhir tahun 90an, plus naik Astra Impressa 2001 yang bikin dia kelihatan kayak pangeran telenovela nyasar ke Indonesia. Belum cukup? Dia vokalis band sekolah. Saat dia nyanyi, cewek-cewek dari kelas satu sampai guru BK pun bisa salah fokus.
Tapi jangan lupa, rivalnya nggak kalah keren. Marvel, teman dekatnya sendiri, adalah ketua OSIS waktu SMP—kombinasi otak, wibawa, dan tampang oriental ala Hua Ze Lei di Meteor Garden. Rambut lurus rapi khas koko-koko sukses, plus naik Suzuki Shogun yang nggak kalah keren. Dan yang bikin makin ngeri? Dia point guard basket yang sering masukin bola dengan gaya cool kayak pemain NBA. Cewek-cewek tiap kali dia shooting: histeris. Masalahnya, rivalitas mereka udah dimulai sejak SMP. Kalau Maliq pacaran sama cewek cantik, 90% probabilitasnya atau kemungkinan Marvel duluan pacarin cewek itu. Kalau Marvel lagi deket sama seseorang? Bisa dipastikan Maliq udah ngegebet duluan. Sistem tukar-guling ini kayak transfer pemain bola, bedanya ini urusan hati. Dan sering kali mereka nggak sadar kalau "main di lapangan yang sama."
Drama terbesar pecah pas kami kelas dua SMA. Di pojok tribun basket, cewek kelas satu bernama Eka jadi rebutan. Eka ini cantiknya level “bidadari turun dari FTV,” dan herannya dia baik ke semua orang, termasuk dua predator cinta ini. Maliq bilang dia pacaran sama Eka. Bawa bukti, saksi, bahkan sms yang kalau dibaca bikin jomblo auto iri. Tapi Marvel juga punya bukti. Sama-sama ngotot, suasana makin panas. Aura perang dingin mengisi udara sekolah. Pas mereka ngobrol, senyumnya lebar, tapi tatapannya kayak saling ingin nyungkil bola basket.
Puncaknya terjadi waktu lomba basket sore itu. Eka diajak Maliq buat pulang bareng, dan Eka bilang, “Iya.” Tapi sebelumnya, Marvel juga ngajak Eka, dan Eka… juga bilang, “Iya.” Saat semua selesai, dua pria tampan ini berdiri di parkiran, masing-masing megang motor sambil bingung nunggu Eka. Kami, anak-anak Genk Lebah, cuma bisa nonton dari jauh, tertawa dalam hati sambil mikir, "Ini bakal jadi tontonan epik." Eka, yang akhirnya muncul dengan wajah tak berdosa, cuma bilang, “Eh, aku lupa janji sama siapa duluan, ya?” Situasi itu awkward, geng. Bukan cuma buat mereka, tapi buat Eka juga, yang akhirnya milih jalan kaki sambil alasan mau diet.
Rivalitas itu nggak selesai sampai kami lulus. Di acara buka puasa bersama atau reuni sekolah, cerita Maliq vs Marvel selalu jadi bahan obrolan wajib. Apalagi sekarang mereka udah nikah, tapi jelas bukan sama Eka. Cewek itu sekarang entah kemana atau sudah jadi influencer dengan akun beauty vlogger-nya, sementara Maliq dan Marvel cuma bisa nyengir tiap drama lama ini diungkit.
“Bro, inget nggak waktu lomba basket, Ingat gak waktu dikelas… Ingat gak waktu….?”
Dan begitu terus setiap tahun, cerita ini makin dibumbui, makin absurd, makin kocak. Rivalitas abadi, katanya. Tapi, pelajaran penting dari kisah ini? Cinta segitiga itu capek. Bukan cuma buat yang dijalanin, tapi juga buat yang nonton. Kadang, daripada ribut soal hati, mending fokus persahabatan. Karena, pada akhirnya, love fades, but memes are forever alias Cinta itu dapat memudar tapi meme itu selamanya.