Di Balik Sarang Lebah – Eps 3. Maaf, Kau Ku Tikung

Gufron dan Risan. Dua nama yang, kalau disebutkan di SMAN Kalisat, pasti semua orang langsung paham. Mereka seperti dua sisi koin—tak terpisahkan, tapi berbeda drastis. Gufron adalah bintang sepak bola sekolah. Sebagai striker andalan, dia ibarat mesin gol hidup. Wajah tampannya, dipadukan dengan gaya khas anak lapangan—jersey penuh lumpur dan senyum penuh percaya diri—membuat para cewek rela antre hanya untuk menonton dia latihan. Ada rumor bahwa bahkan ibu kantin pernah memberi dia diskon bakso karena terlalu kagum.

Risan? Dia beda cerita. Kalau Gufron adalah atlet sejati, Risan cuma jago di bola plastik. Jangan harap dia bisa menendang bola dengan benar; golnya sering masuk ke gawang sendiri. Tapi jangan salah, urusan lain, Risan jagonya. Dia adalah pangeran kaya raya yang hidupnya penuh kemewahan. Motor Honda GL miliknya sering bikin iri teman-teman. Ditambah ponsel Nokia 8250 dengan ringtone "Nokia Tune" yang sering diputar keras-keras di kelas, Risan jadi magnet perhatian. Rumahnya? Jangan ditanya. Ada DVD player, tape kompo, dan koleksi kaset Westlife yang katanya asli, walau kami curiga beli di pasar Kalisat.

Namun, kemampuan paling mencolok Risan adalah dalam urusan percintaan. Dia bukan hanya seorang playboy; dia adalah “gladiator cinta.” Di sekolah, namanya melegenda sebagai bagian dari "Big Three," trio cowok yang konon bisa bikin pacar orang berpindah hati dalam waktu semalam. Bahkan, ada sebuah ungkapan populer: “Cinta sejati hanya bertahan sampai Risan datang.”

Suatu hari, Gufron datang ke rumah Risan dengan wajah penuh harap. "San, aku butuh bantuan," katanya sambil memegang helm seperti orang baru kena tilang. Gufron mengaku sedang naksir seorang cewek bernama Mala.

Mala dulunya biasa saja. Rambutnya yang ikal sering dikuncir seperti ekor kuda lemas, dan kulit cokelatnya sering membuatnya terlihat kalah bersaing dengan para siswi yang berkulit sawo matang. Namun, segalanya berubah sejak tren catok dan rebonding menyerbu. Dengan rambut lurus dan berkilau seperti Rosalinda artis telenovela, Mala mendadak jadi primadona.

Gufron, yang sudah lama memperhatikan Mala dari jauh (dengan gaya mirip detektif amatir), merasa ini waktunya untuk bertindak. Sayangnya, dia terlalu pemalu. Solusinya? Risan, si ahli percintaan.

“San, bantu aku, dong. Aku punya nomornya, tapi gak berani nelpon.”

Risan tersenyum, seperti dokter cinta yang menemukan pasien baru. "Tenang, ini gampang. Aku yang urus. kamu tinggal duduk, nonton aja."

Malam itu, Risan mulai mengirimkan SMS ke Mala atas nama Gufron. Pesan pertama berbunyi, “Hai Mala, ini aku, Gufron. Gmn kabarnya?” Namun, setelah itu, Gufron tidak pernah tahu isi pesan-pesan selanjutnya. Risan selalu berkata, “Santai, bro, dia suka banget sama pesan-pesan mu.” Padahal, siapa tahu, mungkin Risan malah mengirimkan pantun-pantun receh seperti:

"Makan bubur pakai kerupuk, aku suka kamu tanpa ragu-ragu, cu*!"

Beberapa hari kemudian, Gufron merasa ada sesuatu yang aneh. Tapi kecurigaannya baru terjawab ketika, sepulang sekolah, dia melihat kerumunan siswa berkumpul di depan gerbang. Mereka bersorak-sorai melihat seorang cowok tampan di atas motor Honda GL membonceng seorang cewek berambut lurus nan berkilau.

Itu Risan. Dan Mala.

Gufron merasa seperti tokoh utama sinetron kehormatan indosiar, tapi dengan elemen komedi kelam. "Bro," pikirnya, "aku ditikung... sama sahabat sendiri!" Semua sorakan terdengar seperti ejekan di telinganya. Bahkan tukang pentol di depan sekolah tampak ikut menghibur penontonnya dengan teriakan, “Wah, pasangan baru nih!”

Malam itu, Gufron mengadakan sidang darurat di markas geng “Lebah” di rumah Dian di Ajung Kalisat. Suasana sidang penuh ketegangan, seperti drama telenovela yang kehabisan episode. Kami semua menunggu siapa yang akan buka suara duluan. Akhirnya, Gufron, dengan wajah penuh kekecewaan, berkata pelan, “Jujur… aku kecewa.”

Yang lain terdiam. Dian, yang biasanya jadi pelerai, malah sibuk mengunyah kacang goreng. Risan hanya terdiam, tanpa berusaha mengalihkan suasana.

Namun, sidang itu tidak menghasilkan solusi. Risan dan Gufron tak saling bicara selama bertahun-tahun setelah kejadian itu. Gufron bahkan sempat bersumpah untuk tidak percaya pada wanita lagi, seperti pahlawan patah hati di sinetron. Dian akhirnya memberikan amalan zikir khusus, dengan pesan, “Baca ini, biar hati mu tenang. Kalau masih belum sembuh, aku saranin kamu rukyah, bro.”

Namun, di balik semua drama itu, kami belajar satu hal penting: cinta memang rumit, tapi kalau sahabat mulai ikut bermain, bersiaplah untuk jadi bahan tertawaan sekolah... dan, mungkin, tukang pentol.

Kasian Gufron yang akhirnya sedih karena ditikung tapi yang lebih kasihan adalah anda yang membaca tulisan ini karena telah meluangkan waktu untuk membaca sesuatu yang tidak berfaedah. Terima kasih.