Aku sering bermalam di rumahnya, yang cukup besar dan berada di perumahan elit Kalisat. Kamarnya terletak di loteng lantai dua, langsung menghadap ruang tamu, jadi kami bisa mengintip kalau ada tamu datang. Sambil tiduran, aku biasanya mendengarkan koleksi kaset dan CD miliknya. Di antara koleksi itu, aku tertarik pada kaset Linkin Park – Live in Texas. Aku masih ingat menonton konser itu di Indosiar—megah dan mewah. Ada satu lagu favoritku, Pushing Me Away, yang terdengar berbeda dari versi Hybrid Theory—ternyata ini versi remix dari album Reanimation. Aku sangat menginginkan album itu karena di rumah aku sudah punya Meteora. Sayangnya, Kharis tidak mau menjualnya, malah memberikannya padaku secara gratis Live in Texas bukan Reanimation. Reanimation sungguh berharga baginya karena yang memberi adalah pentolan grup Royal. Dia punya banyak sahabat Wanita karena wajahnya tampan seperti Steve Emanuel di sinetron Siapa Takut Jatuh Cinta tapi versi lite.
Suatu siang sepulang sekolah, HP Sony Ericsson T100 milikku berbunyi. Pesan singkat darinya,
“Kalau santai yuk ikut aku.”
Kami jarang menelepon karena tarifnya mahal; SMS saja sudah 350 rupiah, padahal uang saku kami cuma 1500 sehari. Beginilah kaum ekonomi lemah kalau banyak gaya.
“Oke, aku tunggu di rumah ya,” balasku cepat.
Tak lama kemudian, dia memanggil lewat miscall. Aku pun bergegas keluar rumah menuju jalan raya, karena rumahku berada di gang sempit. Dari jauh aku sudah mendengar suara sepeda Kawasaki FIZ R-nya dengan knalpot bising. Kharis menoleh ke arah timur saat aku mendekat, terlihat jelas ada yang membuatnya canggung.
“Apa sih, kok liat-liat ke sana?” tanyaku sambil tertawa.
Di jalan, obrolan kami santai sampai tiba-tiba dia bertanya,
“Kamu kan satu SD sama Shia, kok gak pernah deket?”
Aku tersenyum menjawab,
“Dia teman masa kecil. Kami bahkan main bareng waktu masih pakai celana pendek, masa iya aku suka sama dia?”
Mendengar kata ‘CD’, Kharis tertawa lepas. Aku hanya tersenyum memperhatikan dia yang sepertinya sedang merindukan Shia. Aku enggan bertanya kenapa mereka putus, karena keduanya sama-sama pendiam.
Sore itu, Kharis membawaku ke balapan liar di Lembengan. Jantungku hampir copot melihat situasi di sana—suara bising sepeda motor, asap mengepul, pengendara tanpa perlindungan apa pun. Sementara aku khawatir anak-anak ini jatuh, Kharis tampak santai, menikmati suasana dengan rokok di tangannya. Baginya, cinta itu hitam putih—jelas dan tegas. Dia mencintai Shia dengan tulus, tanpa setengah hati. Aku tahu, karena setiap kali mereka sedang tidak akur, Kharis tidak lagi mengantar Shia pulang.
Namun, hidup sering kali memberi kejutan. Setelah lulus SMA, kami semua melanjutkan kuliah, dan siapa sangka, Kharis dan Shia kembali bertemu di tempat kuliah yang sama, bahkan di jurusan yang sama. Namun lagi-lagi, takdir berkata lain. Kharis tidak pernah benar-benar menggapai Shia. Suatu hari, sahabat Kharis di kelas memintanya untuk memberikan restu karena ingin meminang Shia. Adegan yang persis seperti film Kuch Kuch Hota Hai, saat Aman menyerahkan Anjali pada Rahul.
“Kenapa kamu lakukan itu?” tanyaku heran.
“Aku ingin melihat Shia bahagia. Aku merasa bukan laki-laki yang pantas buat dia, aku cukup menjadi sahabatnya,” jawabnya. Mendengar kalimat itu, perutku mules. Pantas saja, referensi pemikirannya ternyata film India!